Sayyid ‘Abdullah bin Abu Bakar Al-‘Aidarus[1] ra berkata :
Menurut para sufi, syariat adalah ibarat sebuah kapal, tarekat adalah lautnya, dan hakikat adalah permata yang berada di dalamnya. Barang siapa menginginkan permata, maka dia harus naik kapal kemudian menyelam lautan hingga memperoleh permata tersebut.
Kewajiban pertama penuntut ilmu adalah mempelajari syariat. Yang dimaksud dengan syariat adalah semua perintah Allah dan Rasul-Nya ﷺ, seperti wudhu, shalat, puasa, zakat, haji, mencari yang halal, meninggalkan yang haram, dan berbagai perintah serta larangan lainnya. Seyogyanya seorang hamba menghiasi lahirnya dengan pakaian syariat hingga cahaya syariat tersebut bersinar dalam hatinya dan kegelapan insaniyyah sirna dari hatinya. Akhirnya dia dapat menempuh tarekat dan cahaya tersebut dapat selalu bersemayam dalam hatinya.
Tarekat adalah pelaksanaan takwa dan segala sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Allah, seperti usaha untuk melewati berbagai manazil dan maqam. Setiap maqam[2] memiliki tarekat tersendiri. Setiap guru sufi memiliki tarekat yang berbeda. Setiap guru akan menetapkan tarekatnya sesuai maqam dan hal[3]-nya masing-masing. Di antara mereka ada yang tarekatnya duduk mendidik masyarakat. Ada yang tarekatnya banyak membaca wirid dan mengerjakan shalat sunah, puasa sunah, dan berbagai ibadah lainnya. Ada yang tarekatnya melayani masyarakat, seperti memikul kayu bakar atau rumput serta menjualnya ke pasar dan kemudian hasilnya ia dermakan. Setiap guru memilih tarekatnya sendiri.
Adapun hakikat adalah sampainya seseorang ke tujuan dan penyaksian cahaya tajalli, sebagaimana ucapan Rasulullah ﷺ kepada Haritsah, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apakah hakikat keimananmu?”
Haritsah menjawab, “Aku palingkan diriku dari dunia sehingga sama saja bagiku batu, lumpur, mas dan perak. Aku juga membuat diriku lapar di siang hari (berpuasa) dan bergadang di malam hari (shalat malam).”
Keteguhan Haritsah memegang agama Allah, pelaksanaannya terhadap syariat Allah, kehati-hatiannya dan semangatnya untuk bergadang, kehausannya, keberpalingan dirinya dari segala keinginan nafsu adalah tarekat. Sedangkan tersingkapnya berbagai keadaan akhirat kepada Haritsah dan cintanya kepada Allah adalah hakikat.[4]
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
[1] Sayyid ‘Abdullah bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs bin ‘Abdurrahman Assaqqaf ra lahir di kota Tarim Hadhramaut pada tahun 811 H.
[2] Maqam : kedudukan, derajat, atau tingkat kehidupan rohani. Maqam ini dicapai dengan latihan (riyadhah) dan perjuangan (mujahadah).
[3] Hal : perubahan keadaan hati yang datang dari Allah. Keadaan luar biasa yang meliputi seseorang.
[4] Sayyid ‘Abdullah bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs, Al-Kibritul Ahmar wal Iksirul Akbar, cet. ke-1, Musthafa Al-BabiAl-Halabi, Mesir, 1933/1352, hal. 72.
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰