Kesalah fahaman terhadap ilmu tasawwuf yang melahirkan tuduhan sesat biasanya bersumber dari ketidak fahaman tentang hakikat tasawwuf yang terkait dengan syari'ah. Anggapan keliru yang beredar, kaum sufi tidak terlalu taat pada syari'ah, bahkan ada yang menafikan syari'ah.
Padahal, mempraktikkan syari'ah pada taraf sempurna itulah akan ditemukan intisari tasawwuf. Syari'ah yang dijalankan dengan sempurna itu tidak sekedar hukum dzahir, tapi juga mementingkan fiqih batin.
Maka, tasawwuf yang sebenarnya merupakan praktik dari syari'ah itu pada tingkat yang sempurna (ihsan), dzahir, dan batin. Antara syari'ah dan tasawwuf memiliki kaiatan erat yang tidak dapat dipisah. Jika dipisah, maka Islam menjadi tidak sempurna.
Karena itu, Prof. Syed Naquib al-Attas memberi pengertian bahwa tasawwuf merupakan pengamalan syari'ah dalam bentuk yang sempurna dan berasaskan ilmu : Ilmu tentang syariah yang hendak diamalkan dan ilmu tentang kepada siapa dan karena siapa amal ibadah diamalkan (Wan Suhami Wan Abdullah, Beberapa Wajah dan Faham Dasar Tasawwuf Menurut al-Attas Berdasarkan Karyanya ‘The Positive Aspects of Tasawwuf’, hal. 204). Di dalamnya terdapat aspek ilmu dan amal yang berkualitas ihsan.
Dengan demikian, syari'ah sejatinya pintu masuk menuju hakikat tasawwuf. Tanpa pengamalan syari'ah, apalagi anti-syari'ah, jelas tidak akan bisa masuk pada ruang tasawwuf. Tasawwuf dapat dikaitkan dengan ibadah yang berasaskan akidah benar. Maka, di kalangan ulama sufi, pengamalan syari'ah diutamakan.
Tasawwuf di sini bukan seperti faham spiritualisme kaum Bathiniyah dari sekte Syiah Ismailiyah, yang dikenal spritiualisme menggugurkan syariah. Imam al-Ghazali pernah mengingatkan tipu daya tasawwuf palsu kaum Bathiniyah ini. Suatu kali Imam al-Ghazali pernah bercerita kepada muridnya, “Seandainya ada orang mengaku telah mendapat derajat tinggi dari Allah Subhanahu wata'ala, ahli tasawwuf kemudian menggugurkan kewajiban shalat, maka tidak ada keraguan untuk memerangi orang tersebut.”
[Cerita Imam al-Ghazali tersebut dicatat oleh ulama’ sufi Zakaria al-Anshari dalam kitabnya al-Mathalib Syarh Raudh al-Thalib, I/338]
Sekte Bathiniyah ini mengajarkan bahwa melaksanakan aturan-aturan syariat adalah tugas orang-orang awam, sedangkan orang-orang khusus (khowash) kewajiban syari'atnya gugur karena ibadah mereka bersifat batin.
Syekh al-Junaid al-Baghdadi, guru besar para sufi, memperingatkan kemunculan orang-orang jahil yang memakai ‘baju tasawwuf’ yang palsu dengan menggugurkan kewajiban syar'iat ini. Menurutnya, orang yang merasa telah wushul (sampai) kepada tingkat tertentu kemudian meninggalkan aktivitas ibadah yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wata'ala itu lebih buruk dari orang yang mencuri dan berzina.
[Abu Nu’aim, Hilyatu al-‘Awliya’, hal. 386]
Syeikh al-Junaid menasihati sahabat-sahabatnya agar tidak mudah tertipu dengan kemampuan manusia di luar batas kenormalan. Beliau mengatakan, “Jika kamu melihat seseorang yang bisa berjalan di atas air, maka jangan kamu ikuti dia sampai kamu dapat memastikan perilakunya menjalankan perintah syari'at dan menjauhi larangan Allah. Jika kamu menjumpai dia mentaati seluruh perintah Allah Subhanahu wata'ala, meninggalkan seluruh laranganNya, maka ikutilah dia. Jika tidak, maka jauhilah.”
[Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19]
Kaidah utama kaum sufi justru taat kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Seperti dijelaskan oleh imam al-Junaid, “Thariqah kami, yakni thariqah ahli tasawwuf itu selalu terikat dengan aturan al-Qur’an dan al-Sunnah. Barangsiapa yang tidak mengamalkan al-Qur’an dan tidak menjaga al-Sunnah dengan memahami isinya maka thariqahnya tidak sah untuk diikuti.”
[Abdul Wahhab al-Sya’rani,Tanbih al-Mughtarin, hal. 19]
Syeikh Ali al-Khawwas, pembesar sufi dan guru imam al-Sya’rani, mengatakan, “Sesungguhnya thariqah kaum sufi merupakan thariqah yang berhias al-Qur’an dan al-Hadits. Sebagaimana hiasan emas dan mutiara. Karena, dalam setiap gerak, diam, dan nafas mereka, mengandung niat yang benar demi mengikuti syari'at. Tidak diketahui di antara mereka kecuali mereka sangat mendalam dalam ilmu-ilmu syari'at.”
Bahkan terdapat kaidah umum di kalangan ulama tasawwuf, bahwa perkara makruh itu bagaikan sesuatu yang haram. Sedangkan amalan sunnah seperti menjadi kewajiban (fardhu). Yakni bagi ulama tasawwuf, jangankan meninggalkan perkara haram, amalan yang dihukumi makruh pun ditinggalkan jauh oleh para sufi. Mereka sangat membenci sesuatu yang dimakruhkan. Lebih-lebih perkara yang haram. Inilah bentuk kecintaan ulama tasawwuf terhadap syari'ah Allah Subhanahu wata'ala.
Syekh Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa siapapun ditaklif (dibebani menjalankan) syari'at. Tidak ada perbedaan antara santri, kiai, awam, dan wali. Beliau mengatakan, “Tidak ada namanya wali yang meninggalkan kewajiban syari'at. Apabila ada yang mengingkari syari'at maka ia sesungguhnya mengikuti hawa nafsunya saja dan tertipu oleh setan.”
Orang seperti itu menurutnya tidak perlu dipercaya. Orang yang mengenal Allah Subhanahu wata'ala wajib menjalankan seluruh amal dzahir dan batin
[Hasyim ‘Asy’ari, al-Duror al-Muntastiro fi Masa’il al-Tis’u al-‘Asyara, hal. 6]
Ketaatan sempurna kaum sufi melaksanakan kewajiban syari'ah tersebut dimaksudkan ketaatan secara dzahir dan batin. Aspek lahiriyah meliputi seperti shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah Subhanahu wata'ala, dan lain-lain. Dua aspek ini dipadu menjadi ibadah yang berkualitas ihsan. Aspek batiniyah meliputi keyakinan akan pertemuan dengan Allah, muraqabah (merasa selalu diawasi), ikhlas, tawadhu, dan lain-lain.
Ibnu Athoillah mengatakan, “Jika kamu beribadah seperti mendirikan shalat dan membaca al-Qur’an, tetapi kamu tidak bisa merasakan kehadiran Allah dan tidak bisa bertadabbur, berarti dirimu telah dijangkiti penyakit batin, baik itu kesombongan, ujub atau sejenisnya.”
Islam memang mengandung dua unsur dzahir dan batin. Jika dzahir saja yang diamalkan, akan menjadi fasik. Dan jika hanya mengamalkan batin saja tanpa dzahir akan menjadi zindiq. Islam menjadi tidak sempurna jika salah satu diabaikan atau dibuang. Sedangkan kita diperintah untuk memasuki Islam secara sempurna (Udkhulu fi al-silmi kaafah). Dan tasawwuf yang oleh imam Ghazali disebut palsu adalah yang menghilangkan sisi dzahir itu. Sehingga melahirkan unsur-unsur kebatilan.
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki mengklarifikasi bahwa tasawwuf yang sebenarnya, bukanlah yang mengandung tahayyul, kebatilan, kebohongan, dan tipuan. Beliau menjelaskan bahwa ulama tidak mengenal tasawwuf dengan teori spekulasi atau akidah-akidah musyrik seperti politeisme.
[Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Pemahaman yang Harus Diluruskan, hal. 67]
Para ulama berlepas tangan dari keyakinan-keyakinan tersebut.
Oleh: Kholili Hasib
Penulis aktif di MIUMI Jawa Timur
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
No comments:
Post a Comment