Tuesday, August 1, 2017

Syarat & Kehati-Hatian Ulama Terdahulu Dalam Berfatwa


At Thahawi Perlu Izin Qadhi Maliki Sebelum Berfatwa

Qadhi Abu Utsman Al-Baghdadi meskipun termasuk ulama besar dan hakim madzhab Al-Maliki, namun beliau sering mengunjungi Imam At-Thahawi yang bermadzhab Hanafi untuk menyimak karya-karya beliau.

Suatu saat ketika kedua ulama besar itu bertemu ada seorang datang untuk meminta fatwa. Imam At-Thahawi pun menyampaikan kepada orang itu, ”Madzhab Qadhi demikian…”

Si penanya pun mengatakan kepada Imam At Thahawi, ”Saya bukan datang untuk Qadhi, sesungguhnya saya datang kepada Anda.”

Qadhi Abu Utsman pun turut berbicara kepada Imam At-Thahawi, ”Berilah fatwa dengan pendapatmu.”

Imam At-Thahawi pun menjawab, ”Sebagaimana telah dizinkan oleh Qadhi, maka silahkan Anda (Qadhi) memberi fatwa kemudian baru saya.”

Dari kisah ini Al Hafidz As-Sakhawi menyampaikan bahwa demikianlah adab Imam At-Thahawi dan kelebihan beliau, sebagaimana Qadhi Abu Utsman yang mengunjungi beliau juga memiliki adab dan keutamaan.

Kisah ini dinukil Syeikh Muhammad Az-Zahid Al-Kautsari, ulama Kekhalifahan Al-Utmani dari At-Tibr Al-Masbuq karya Al-Hafidz As-Sakhawi (Al Maqalat Al Kautsari, hal. 348)

Tidak Tergesa-gesa & Lebih mengutamakan Pihak Lain dalam Berfatwa

Seorang penanya di Madinah pergi menemui Ibnu Abbas ra., sepupu Rasulullah , ia berkata, “Ibnu Abbas, saya mempunyai satu pertanyaan.”

Ibnu Abbas ra. menjawab, “Engkau bertanya kepadaku, sedangkan di Madinah terdapat Abdullah ibnu Umar!”

Si penanya pun pergi menemui Abdullah ibnu Umar ra.
Ibnu Umar ra. berkata, “Engkau bertanya kepadaku, sedangkan di Madinah ada Abdullah ibnu Amr.”

Dia pun pergi menemui Abdullah ibnu Amr ra.
Ibnu Amr ra. berkata, “Engkau bertanya kepadaku, sedangkan di Madinah ada Abdullah ibnu Mas’ud.”

Dia pun pergi menemui Abdullah ibnu Mas’ud ra.
Keempat shahabat yang mempunyai nama Abdullah ini disebut empat ‘abadilah (orang-orang yang mempunyai nama Abdullah). Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Engkau bertanya kepadaku, sedangkan di Madinah terdapat Abdullah ibnu Abbas.”

Dia pun kembali kepada Ibnu Abbas ra.
Ibnu Abbas ra. lalu bertanya, “Apa pertanyaanmu?”

Dia menjawab, “Pertanyaanku begini.”

Ibnu Abbas ra. berkata, “Beri saya waktu sampai besok, insya Allah.”

Pada hari kedua si penanya kembali.
Ibnu Abbas ra. bertanya, “Apa pertanyaanmu?”

Dia menjawab, “Pertanyaanku begini.”

Ibnu Abbas ra. berkata, “Beri saya waktu sampai besok, insya Allah.”

Hingga tiga atau empat hari si penanya merubah pola pertanyaannya. Ibnu Abbas ra. ingin memastikan bahwa si penanya benar-benar menginginkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Akan tetapi orang itu merubah-ubah pola pertanyaannya. Maka pada hari keempat Ibnu Abbas ra. menjawab, “Saya akan menjawab pertanyaanmu pada hari pertama, pertanyaanmu pada hari kedua, dan pertanyaanmu pada hari ketiga. Apakah engkau ingin membuat jembatan untuk menyeberang ke surga, sedangkan kami jatuh ke neraka Jahannam….????

۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰

Ibrahim At-Taimiy apabila ditanya tentang suatu masalah, maka ia menangis sambil bertanya, “Apakah kalian tidak menemukan orang lain, sampai kalian menanyakannya kepadaku?”

Abdurrahman bin Abi Laila berkata, “Di dalam masjid ini, aku pernah sempat bertemu dengan 120 orang sahabat Rasulullah . Tidak seorang pun diantara mereka yang ditanya tentang suatu hadits atau keterangan hukum, kecuali lebih suka temannya yang menjawabnya.”

Abu Hafs An-Naisabury berkata, “Orang alim adalah orang yang ketika ditanya tentang suatu masalah, merasa takut kalau-kalau nanti pada hari kiamat ditanyakan kepadanya, ‘Dari mana Dasar Jawabanmu?’.”

Sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya orang Alim adalah orang yang apabila ditanya tentang suatu masalah, maka seolah ia mencabut gigi gerahamnya.”

Ulama lain berkata, ”Para sahabat Nabi  saling melempar dalam empat perkara : Pemimpin negara, Penerima Wasiat, Menerima barang titipan, dan Memberikan Fatwa.”

Ibnu Husbain berkata, “Ada ulama zaman ini yang berani memberikan fatwa tentang suatu masalah, yang seandainya masalah tersebut dikemukakan kepada khalifah Umar bin Khattab Radliyallahu’anhu, tentu beliau akan mengumpulkan ahli badar untuk membicarakannya.”

Imam Ibnu Abi Laila, salah seorang ulama besar dari kalangan tabi’in menyampaikan, “Aku mengetahui 120 kaum Anshar dari para sahabat Rasulullah . Ketika salah satu dari mereka ditanya mengenai sebuah masalah, maka ia menyarankan kepada si penanya untuk menanyakan kepada yang lain, dan yang lain pun menyarankan untuk bertanya kepada pihak lain juga, demikian selanjutnya hingga kembali kepada orang yang pertama.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Imam Ibnu Abi Laila mengatakan, “Tidak ada dari mereka menyampaikan hadits, kecuali mengutamakan saudaranya. Dan ia tidak diminta fatwa tentang sesuatu kecuali mengutamakan saudaranya.”
(Adab Al Fatwa wa Al Mustafti wa Al Mufti, hal. 14)

Imam Al-Mundziri –Shohibul Targhib wa Tarhib– adalah tempat bertanya bagi orang mesir. Ia adalah tempat meminta fatwa bagi kaum muslim di Mesir. Namun tatkala Imam Izz bin Abdissalam hijrah dari Syam ke Mesir, Beliau pun berhenti berfatwa. Setiap datang manusia meminta fatwa kepada beliau, beliau selalu menolak dan menyuruh mereka untuk meminta fatwa kepada Imam Izz bin Abdissalam.
Bahkan beliau berkata, “Aku tidak akan berbicara tentang masalah fiqh selama Izz bin Abdissalam ada di sekitar kita.”

Begitulah adab seorang ulama dalam menghormati ulama lain terutama ulama lain yang memiliki spesifikasi dalam bidang tersebut (Imam Mundziri spesifikasinya di bidang Hadist – Imam Izz bin Abdissalam di bidang Fiqh dan Fatwa).
Dan sekedar tambahan, Imam Izz bin Abdissalam sendiri belajar hadits ke Imam Mundziri.

Dalam masa tersebut, Hijrah pula Imam Abu Hasan Asy-Syadzili dari Maghrib ke Mesir. Suatu hari Beliau bertiga duduk menjadi pengajar kitab Risalah Qusyairiyah (Kitab Suluk dan tarbiyah nafs). Imam Mundziri pun menjadi pembicara pertama menjelaskan kitab tersebut sesuai ilmu beliau. Lalu imam Izz bin Abdissalam mendapat giliran kedua untuk menjelaskan kitab tersebut sesuai ilmu beliau pula. Tatkala kesempatan diberikan kepada Imam Abu Hasan Asy-Syadzili, beliau pun menjelaskan kitab tersebut dengan penjelasan yang sangat detail sekali sehingga Imam Izz bin Abdissalam pun takjub dengan tingkat keilmuan Imam Abu Hasan Asy-Syadzili.

Semenjak itu, Imam Izz bin abdissalam pun duduk di bawah bersama para penuntut ilmu untuk mendengarkan pengajian Kitab Risalah Qusyairiyah dari Imam Abu Hasan Asy-Syadzili.

Saling menghormati antar ulama & Menghormati spesifikasi ilmu masing-masing

Generasi awal memandang bahwa berfatwa merupakan perkara yang memiliki tanggung jawab amat besar, hingga mereka tidak “rakus” dalam masalah ini. Sehingga mereka saling melimpahkan fatwa kepada pihak lain.

Tak Semua Pertanyaan dijawab

Ibnu Umar Radliyallahu’anhuma pernah ditanya tentang sepuluh masalah. Beliau hanya menjawab satu masalah dan beliau diam, tidak menjawab sisanya.

Ibnu Abbas Radliyallahu’anhum pernah menjawab sembilan pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan yang satu tidak dijawab.

Imam Syafi’i berkata beliau, “Aku pernah menyaksikan Imam Malik ditanya empat puluh delapan pertanyaan. Dan untuk tiga puluh dua pertanyaan beliau menjawabnya dengan berkata, ‘Saya tidak tahu'."

Dari sini, kezuhudan dan kewara’an Imam Malik dapat terlihat sangat jelas dan tidak mungkin untuk dipungkiri.

Beratnya Syarat Mufti di Masa Dahulu

Dimasa Utsmaniyah


Syeikh Al-Islam Sa’d Ad-Din, yang merupakan “Syeikh al-Islam” ke 25 Daulah Al Utsmaniyah saat itu wafat, hingga Sulthan Utsman II meminta pertimbangan para ulama besar mengenai siapa pengganti Syeikh Sa’d. Dan saat itu yang ditanya adalah Syeikh Husain bin Muhammad yang merupakan ulama besar di masa itu.
Maka, Syeikh Husain pun memberikan jawaban, “Mintalah para ulama hadir dan berdiri di hadapan Anda. Dan aku akan memberikan kepada mereka 300 pertanyaan. Maka, barang siapa mampu menjawab 200 darinya tanpa membuka kitab, maka pantas menduduki jabatan mufti.”
(Maqalat Al Kautsari, hal. 384 & 385)

Imam Malik

Imam Malik rahimahullah menyampaikan, “Aku tidak berfatwa, hingga telah bersaksi 70 ulama bahwa aku ahli dalam hal itu.”

Dalam riwayat lain Imam Malik menyampaikan, “Aku tidak berfatwa hingga aku bertanya kepada siapa yang lebih alim dariku, apakah ia melihat aku layak?”

Imam Malik menyampaikan, “Tidaklah pantas bagi seorang melihat bahwa dirinya ahli mengenai sesuatu, hingga bertanya kepada siapa yang lebih tahu darinya.”
(Adab Al Fatwa wa Al Mufti wa Al Mustafti, hal. 18)

Imam Ahmad

Imam Ahmad suatu saat ditanya oleh seseorang, “apakah dengan hafal 100 ribu hadits seorang bisa disebut faqih?”

Imam Ahmad pun menjawab, “Tidak.”

Laki-laki itu pun bertanya lagi, “Jika 200 ribu hadits?”

Imam Ahmad pun menjawab, “Tidak.”

Laki-laki itu masih bertanya, “Jika 300 ribu?”

Imam Ahmad menjawab, “Tidak.”

Kemudian laki-laki itu bertanya, “Jika 400 ribu?”

Imam Ahmad pun menjawab, “Demikianlah.” Sambil beliau memberi isyarat dengan tangan.
(Ad Din Al Qayyim, hal. 8)

Imam Ibnu Hajar

Perlu diketahui Al-hafiz Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Ulama besar bermadzhab Syafi’i yang disebut-sebut sebagai ahli bid’ah oleh Ulama Wahabi, karena Beliau mencintai Ahli Sufi, menyukai Maulid Nabi , & beraqidah Asy’ariah, Setelah Beliau menyelesaikan penulisan kitab Tuhfatul Muhtaj, dengan sangat hati-hatinya. Beliau membacakan kitabnya itu kepada 400 ulama lebih, bahkan ada yang mengatakan kepada 700 ulama.

Dan Para Ulama itu semuanya menilai bahwa kitab beliau itu merupakan inti sari dari madzhab imam Syafi’i dan setelah itu kitab beliau ini menjadi rujukan para ulama sesudahnya sampai sekarang. Coba bayangkan, bagaimana kehati-hatian beliau dalam urusan agama, sehingga kitabnya tidak langsung disebarkan kecuali melalui tashih lebih dari 400 ulama di zamannya.

Al-Allamah Muhammad bin Ziyad Al-Wadhahi

Ulama besar Yaman kala itu ditinggal wafat oleh gurunya, mufti Zabid, Al-Allamah Said Al-Kabudi. Sebulan kemudian para ulama mendesak Al-Wadhahi untuk bersedia diuji sebagai mufti, sedangkan ia sendiri berupaya sekuat tenaga menolak desakan itu karena begitu “bahayanya” menjadi mufti.

Akhirnya setelah berbagai desakan, Al-Wadhahi bersedia menjalani ujian. Setelah melaluinya, Al-Wadhahi pun dianggap pantas untuk menduduki jabatan sebagai mufti yang menggantikan posisi gurunya Al-Kabudi.
(An Nafs Al Yamani, hal. 78)

Yang Pandai dan yang Bodoh dalam Fatwa

Ibnu ‘Uyainah menyatakan, “Manusia yang paling pandai dalam fatwa adalah mereka yang paling banyak menahan untuk berfatwa. Dan manusia yang paling bodoh dalam berfatwa adalah yang paling mudah berfatwa.”

Khatib Al-Baghdadi menjelaskan pernyataan Ibnu 'Uyainah tersebut, “Bahwa siapa yang rakus dalam berfatwa maka sedikit taufiq. Sedangkan siapa yang tidak suka diminta fatwa dan fatwa bukan pilihannya, maka pertolongan dari Allah lebih banyak diperoleh jika ia berfatwa.”

Merujuk kepada sabda Rasulullah  kepada Abdurrahman bin Samurah yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, “Jika engkau diberi kekuasaan tanpa meminta, maka engkau akan ditolong atasnya.”
(Al Faqih wa Al Muatafaqqih, 2/351)

Imam Ibnu Mubarak rahimahullah Ta’ala menyampaikan, “Seseorang disebut alim (pandai) selama ia menilai bahwa di negerinya ada orang yang lebih pandai darinya. Jika ia menyangka bahwa dia adalah orang yang paling pandai di negeri itu, maka ia adalah orang bodoh.”
(Tanbih Al Mughtarrin, hal. 14)

Al-Imam Asy-Syathibi dalam kitabnya al-I’tisham, membuat sebuah pertanyaan yang dijawabnya sendiri, mengapa seseorang itu mengikuti hawa nafsu dan kemudian pendapat-pendapatnya menjelma dalam bentuk sebuah aliran sesat?
Hal tersebut ada kaitanya dengan latar belakang lahirnya aliran-aliran sesat, yang sebagian besar berangkat dari ketidaktahuan terhadap Sunnah. Hal ini seperti diingatkan oleh sebuah hadits shahih,

“Manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin.”

Menurut Asy-Syathibi, setiap orang itu mengetahui terhadap dirinya apakah ilmunya sampai pada derajat menjadi mufti atau tidak. Ia juga mengetahui apabila melakukan introspeksi diri ketika ditanya tentang sesuatu, apakah ia berpendapat dengan ilmu pengetahuan yang terang tanpa kekaburan atau bahkan sebaliknya. Ia juga mengetahui ketika dirinya meragukan ilmu yang dimilikinya.

Oleh karena itu, menurut Asy-Syathibi, seorang alim apabila keilmuannya belum diakui oleh para ulama, maka kealimannya dianggap tidak ada, sampai akhirnya para ulama menyaksikan kealimannya.

Wallahu a’lam bish-shawabi.

Ref: Ust: Qultu Man Ana, AL Mahbub, Abu. V & hidayatullah.com

۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰


۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰

No comments:

Post a Comment

Berdosakah Kita Bila Tidak Mengamalkan Hadits Shahih?

Pertanyaan : Assalamu ‘alaikum wr. wb. Bila ada hadits yang shahih dan telah disepakati keshahihannya oleh para ulama ahli hadits,...