Di antara ulama-ulama pembawa panji madzhab Imam Asy-Syafi’i yang paling terkemuka di abad ke-6 H/10 M adalah Imam Izzuddin bin Abdissalam As-Sulami. Ia ulama yang sangat aktif menyebarkan dan membela paham Ahlussunnah Asy’ari dan Syafi’i. Ia juga sering berhadapan dan berdialog dengan paham-paham yang dianggap menyimpang saat itu, seperti kelompok Hasywiyyah, Musyabbihah, Mujassimah, dan Mu’tazilah.
Nama dan gelar beliau adalah Syaikh Al-Imam Izzuddin Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam bin Abi Al-Qasim bin Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab As-Sulami Al-Maghribi Ad-Dimasyqi Al-Mishri Al-Asy’ari Asy-Syafi’i, lahir di Damaskus tahun 577 H/1181 M dan wafat pada tahun 660 H/1262 M.
Sebagaimana disebutkan di atas, nama beliau adalah Abdul Aziz, tapi ia lebih populer dengan julukan Izzuddin atau Al-Izz. Gelar Izzuddin diberikan sesuai dengan adat pada masa itu. Setiap khalifah, sultan, pejabat, terlebih lagi para ulama, diberi tambahan gelar pada namanya. Gelar ini nantinya lebih melekat dalam dirinya. Sehingga ia lebih dikenal dengan nama Izzuddin bin Abdussalam atau Al-Izz bin Abdussalam.
Banyak gelar yang disematkan para ulama masanya kepadanya, di antaranya sebutan Sulthan al-'Ulama (Pemimpin para Ulama), Ba‘i’ al-Muluk (Penjual raja-raja), Syaikh al-Islam (Tuan Guru Islam), Ahadu A‘immah al-A’lam (Salah Seorang Imam Terkemuka). Julukan-julukan ini tentunya bukan tanpa alasan, lantaran keilmuannya yang multi disiplin dan sangat diakui kredibilitasnya di zamannya dan zaman setelahnya.
Yang pertama kali menggelarinya Sulthan Al-'Ulama adalah murid pertamanya, Syaikhul Islam Ibnu Daqiq Al-‘Id, sebagaimana disebutkan Imam Tajuddin As-Subki dalam kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra.
Menilik jejak keilmuan dan kealimannya — Syaikh Izzuddin adalah murid Imam Fakhruddin bin Asakir Ad-Dimasyqi (w. 620 H/1223 ), Imam Qadhi Al-Qudhat Jamaluddin Abdushshamad Al-Harastani (w. 614 H/1217 M), Imam Saifuddin Ali Al-Amadi (w. 631 H/1234 M), Imam Abu Al-Hasan Ali Asy-Syadzili (w. 656 H/1258 M), Imam Abu Al-Abbas Al-Mursi (w. 686 H/1287 M), dan Imam Ibnu Shalah (w. 643 H/1245 M) — teranglah siapa gurunya, yang kesemuanya itu adalah arus air keilmuan yang bersumber dari mata air ilmu Imam Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu.
Sedangkan lewat tangan dinginnya terlahir murid-murid hebat, yang juga selanjutnya menjadi penerus mata rantai madzhab Imam Asy-Syafi’i. Yakni kedua putranya, Abu Ishaq Ibrahim dan Abdullathif, Ibnu Daqiq Al-‘Id, Tajuddin Abdul Wahhab bin Khalaf, Abu Syamah, Al-Farkah, Al-Qarrafi, dan masih banyak lagi.
Hidup Prihatin
Syaikh Izzuddin bin Abdissalam terlahir dari keluarga miskin. Umumnya ulama di masanya, kalau bukan seorang anak ulama terpandang di masyarakat, pasti anak orang kaya raya yang mencintai ilmu agama. Lantaran tekad, kesungguhan, dan kesabarannyalah, ia mampu melampaui hasil yang mengagumkan dan pada derajat tertinggi di kalangan ulama di masanya.
Diceritakan, ketika keluarganya berupaya bangkit dari kesulitan ekonomi di Damaskus, Izzuddin kecil malah senang dengan ilmu agama. Keluarganya sibuk mencari penghidupan, sedangkan Izzuddin kecil sibuk menghadiri majelis-majelis ilmu. Imam Tajuddin As-Subki menceritakan, kesulitan ekonomi yang mendera keluarganya tak menyurutkan langkahnya untuk menuntut pengetahuan agama. Sebagaimana diketahui, profesi sebagai guru agama menempati kedudukan amat terhormat di masa itu. Sekalipun profesi pegawai negara, pedagang, dan petani juga dianggap terpandang, Al-Izz muda tak tertarik dengan mencari harta duniawi. Baginya ilmu agama adalah segalanya, yang memalingkannya dari mencari peruntungan ekonomi semata. Dan pandangan ini telah tertanam sejak ia belia.
Beliau tinggal di sebuah zawiyah (majelis pengajian) di bagian utara Masjid Jami’ Umawi Damaskus.
Suatu malam di musim dingin, saat tertidur beliau mimpi basah. Saat terbangun, segera beliau menuju kolam masjid lalu mandi janabah. Namun beliau menderita demam akibat dingin yang teramat sangat. Kemudian beliau kembali menenangkan dirinya untuk tidur. Namun beliau kembali bermimpi basah, hingga terpaksa kembali mandi janabah di kolam masjid. Akibat teramat dinginnya, akhirnya tubuhnya pun menderita demam yang amat sangat, beliau muntah dan jatuh lemas. Sayup-sayup terdengar suara menegurnya, “Hai anak Abdussalam, apa yang kamu inginkan, ilmu atau pekerjaan?”
Dengan suara lemah akibat sakit, Al-Izz menjawab, “Aku ingin ilmu. Karena ilmu menuntunku kepada pekerjaan.”
Selepas dialog ghaib itu, beliau selalu ingat akan kejadian itu, dan mendorongnya untuk semakin gigih menimba ilmu agama.
Al-Izz hidup dalam kesusahan. Beliau jarang berkumpul bersama keluarganya, lantaran tak mau membebani mereka. Beliau bekerja di zawiyah itu untuk mengurusi segala keperluan sebelum majelis ilmu diadakan dan setelahnya. Beliau tak mendapat upah dari itu, tetapi mendapat kesempatan untuk duduk bersama pelajar lainnya di hadapan para guru. Saat besar, sebagaimana diceritakan Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Raf’u al-Ashar ‘an Qudhat Mashr, Al-Izz mengingat kembali apa yang dialaminya dengan berkata, “Aku tak butuh sesuatu pun dari ilmu, hingga aku sempurnakannya di hadapan guru dengan membaca kitab di hadapannya. Tidak pula aku setengah-setengah di dalamnya, hingga guruku berkata, ‘Engkau telah cukup dengan ilmu dariku dan telah sibuk dalam ilmu bersama dirimu.’ Dengan begitu, tiada kutinggalkan guruku hingga aku mengkhatamkan bacaanku di hadapannya.”
Beliau bergulat dengan pengetahuan agama sepanjang masa kecil hingga awal kedewasaannya dalam keprihatinan. Guru-gurunya pun banyak yang simpatik kepadanya. Beliau terdidik dengan didikan terbaik, dengan kecintaan guru dan akhlaq mereka, sehingga kelak keberkahan tampak tersirat dalam gerak ilmu dan dakwahnya.
Perolehan ilmu memang banyak dicapai Al-Izz di Damaskus. Namun beliau juga melakukan rihlah keilmuan hingga Baghdad di masa remajanya, demi memuaskan dahaga dengan pengetahuan agama yang demikian dicintainya.
Kelahiran dan Perkembangan
Semua sumber sejarah yang mencantumkan biografi beliau sepakat bahwa beliau dilahirkan di Damaskus, Syiria, hanya saja terdapat dua pendapat berbeda mengenai tahun kelahiran beliau, ada yang menyatakan beliau lahir pada tahun 577 H. dan ada yang menyatakan beliau lahir pada tahun 578 H.
Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam dilahirkan dari keluarga miskin dan dari keturunan biasa, karena itulah sangat sedikit informasi yang didapat mengenai kehidupan masa kecil beliau dan sejarah nenek moyang beliau, karena memang beliau bukanlah keturunan seorang ulama’, orang terpandang, atau pemimpin pemeritahan. Syaikh Ibnu As-Subki mengisahkan, bahwa pada masa awal hidupnya Imam Izzuddin sangat faqir, karena itulah beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua.
Masa-Masa Menuntut Ilmu
Meskipun beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua, namun beliau sangat bersemangat menghafalkan kitab dan giat belajar, dan secara berkala mengaji kepada para ulama’ besar pada masa beliau, semua itu beliau lakukan untuk menebus masa kecil beliau yang tak sempat mengenyam pendidikan karena keadaan keluarga beliau yang miskin.
Ketekunan dan ketelatenan beliau bisa kita lihat dari sikap beliau yang tak mau memutuskan pelajaran sebelum menyelesaikannya. Dikisahkan bahwa suatu ketika guru beliau berkata, “Engkau sudah tidak membutuhkan apa-apa dariku lagi”, namun Imam Izzuddin tetap saja mengaji dengan tekun kepada sang guru dan mengikuti pelajaran sang guru hingga selesai kajian kitab yang diajarkan.
Ketekunan beliau juga dituunjukkan dengan jarangnya tidur pada malam hari, beliau pernah berkata bahwa selama 30 tahun beliau tidak tidur sebelum benar-benar memahami kitab yang sedang beliau pelajari. Selain itu lingkungan di mana beliau tinggal, yaitu Damaskus pada waktu itu adalah kawasannya para ulama’, daerah yang dipenuhi ulama’-ulama’ yang masyhur dalam berbagai ilmu.
Guru-Guru Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam
1. Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani
Al-Qodhi Abdus Shomad bin Muhammad bin Ali bin Abdul Wahid bin Al-Harostani Al-Anshori Al-Khozroji Al-Ubadi As-Sa’di Ad-Damasyqi merupakan seorang qodhi (hakim) yang dikenal adil, zuhud dan wira’i, beliau merupakan salah satu pembesar fuqoha’ madzhab syafi’i, imam Izzuddin menceritakan bahwa gurunya ini hafal kitab “Al-Wasith” karya imam ghozali. Tak heran jika Imam Izzuddin begitu kagum pada gurunya tersebut, Imam Izzuddin sampai mengatakan, “Tak pernah aku melihat orang yang ahli fiqih seperti beliau.”
Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani dikenal sebagai seorang hakim yang sangat berani dan tegas dalam memberikan keputusan hukum, Dikisahkan suatu ketika ada dua orang yang mengadukan permasalahan yang menimbulkan pertikaian diantara keduanya, salah satu diantara mereka membawa surat dari sang raja yang ditujukan kepada sang qodhi yang berisi wasiat kepada qodhi, namun ketika beliau menerima surat itu, beliau tidak membukanya, setelah mendengarkan keterangan dari kedua orang tersebut beliau memberikan keputusan bahwa orang yang membawa surat dari raja itulah yang benar. Setelah memberikan keputusan, sang qodhi baru membuka surat tersebut, lalu membacanya dan mengembalikannya kepada orang yang membawa surat tersebut, seraya berkata, “Kitabulloh (Al-Qur’an) telah telah memberikan keputusan pada kitab (surat) ini.”
Apa yang beliau lakukan akhirnya sampai kepada raja, lalu sang raja berkata, “Dia benar, kitabulloh lebih utama dari kitabku.”
Keberanian gurunya inilah yang sangat membekas dan berpengaruh pada keperibadian imam izzuddin, ini nampak ketika kelak beliau mulai memberikan fatwa, seringkali fatwa beliau berseberangan dengan apa yang dikehendaki oleh para pemimpin-pemimpin daulah Mamalik di Mesir. Imam Izzuddin juga memiliki pendapat yang berseberangan dengan raja Najmuddin Ayyub hingga membuat sang raja marah besar.
2. Syaikh Saifuddin Al-‘Amidi
Dalam bidang ushul (ilmu tauhid), Imam Izzuddin belajar pada Syaikh Saifuddin Al-‘Amidi, seorang ulama’ yang dikenal sangat pandai dalam bidang ushul dan diskusi (munadhoroh). Imam Izzuddin sangat terpengaruh dengan Syaikh Al-‘Amidi dan mengagumi gurunya itu, Imam Izzuddin mengatakan, “Tak pernah aku mendengar orang yang menyampaikan pelajaran sebagus beliau.” Imam Izzuddin juga pernah berkata, “Aku tidak mengetahui kaidah-kaidah berdiskusi kecuali dari beliau.”
3. Imam Fakhruddin bin ‘Asakir
Abu Manshur Abdurrohman bin Muhammad bin Al-Hasan bin Hibatulloh bin Abdulloh bin Al-Husain Ad-Damasyqi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir merupakan guru imam Izzuddin dalam bidang hadits dan fiqih madzhab syafi’i, seorang ulama’ yang dikenal wira’i dan zuhud. Beliau juga dikenal sebagai ulama’ yang sangat berani dalam memberikan fatwa dan tak perduli meskipun keputusannya itu bertentangan dengan keputusan yang dikeluarkan oleh raja, jika memang menurut beliau keputusan itu salah dan melanggar agama.. Beliau menolak dijadikan sebagai hakim ketika diminta oleh raja, dan mengatakan kepada sang raja, “Cari saja orang lain.”
Ketiga ulama’ inilah guru-guru yang berpengaruh besar pada akhlak dan pola pemikiran beliau kelak. Selain ketiga ulama’ tersebut, Imam izzuddin juga belajar kepada beberapa ulama’ lainnya, diantaranya :
4. Syaikh Al-Qosim bin ‘Asakir
Beliau adalah Al-Hafidh Baha’uddin Abu Muhammad Al-Qosim bin Al-hafidh Al-Kabir Abul Qosim bin Asakir.
5. Syaikh Abdullathif bin Syaikhus Suyukh
Beliau adalah Abul Hasan Dhiya’uddin Abdullathif bin Isma’il bin Syaikhus Suyukh Abu Sa’d Al-Baghdadi. Beliau merupakan guru imam Izzuddin fdalam bidang hadits.
6. Syaikh Al-Khusyu’i
Beliau adalah Abu Thohir Barokat bin Ibrohim bin Thohir Al-Khusyu’i. Beliau merupakan guru imam Izzuddin dalam bidang hadits.
7. Syaikh Hanbal Ar-Rushofi
Beliau adalah Abu ‘Ali Hanbal bin Abdulloh bin Al-Faroj bin Sa’adah. Beliau merupakan guru imam Izzuddin dalam bidang hadits.
8. Syaikh Umar bin Thobarzad
Beliau adalah Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Yahya, yang lebih dikenal dengan Ibnu Thobarzad Ad-Darqozi.
Qawa’idul Ahkam fi Mashalih al-Anam
Muridnya, Syaikh Izzuddin Al-Husaini, menilai, Imam Al-Izz bin Abdissalam adalah sosok sentral ilmu agama pada masanya yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Ia meriwayatkan hadits, mengajar, menyampaikan fatwa, mengarang kitab, memimpin majelis hukum di Mesir, menyampaikan khutbah di berbagai masjid, dan sebagainya, sebagai orang yang mendedikasikan hidup dengan pengetahuan agama. Ia bagaikan lautan ilmu dan pengetahuan, sehingga banyak ulama yang mengatakan, “Ilmu Syaikh Al-Izz lebih banyak daripada karyanya.” Kata-kata ini dapat dimengerti bahwa tidak semua pengetahuan seorang ulama dapat diimla`-kan dalam bentuk tulisan. Kaliber pengetahuan seorang ulama, selain terlihat dari karya tulisnya, bisa dilihat juga dari karya-karyanya yang bergerak, yakni para murid, majelis ilmunya, dan catatan-catatan pihak lain yang menuliskan sepak terjang keilmuannya.
Namun Imam Al-Izz bin Abdissalam adalah sosok yang boleh dikatakan produktif di setiap lini kehidupan ulama. Dalam hal tulis-menulis, ditengarai, karya tercetaknya berjumlah 30 buah. Beberapa buah karyanya dapat disebutkan di antaranya kitab Al-Qawa’id al-Kubra, Al-Qawa’id ash-Shughra, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Al-Ilmam fi Adillah al-Ahkam, Al-Fatawa al-Mishriyah, Al-Fatawa al-Maushuliyah, Majaz al-Qur’an, Bidayah as-Sul fi Tafdhil ar-rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Syajarah al-Ma’arif, Kitab at-Tafsir, Al-Ghayah fi Ikhtishar an-Nihayah, Mukhtashar Shahih Muslim, Maqashid ash-Shalah, Al-Isyarah ila al-Ijaz, Maqashid ash-Shaum, Targhib Ahlal-Islam fi Sukn asy-Syam, Aqa’id asy-Syaikh ‘Izziddin, Kasyf al-Asrar ‘an Hukm ath-thuyur wa al-Azhar.
Salah satu karya terbaiknya adalah sebuah kitab yang diberi judul Qawa’idul Ahkam fi Mashalih al-Anam. Kitab ini menjelaskan berbagai maslahah yang terkandung dalam amal ibadah, mu’amalah, dan berbagai aktivitas seorang ‘abd, hamba Allah. Dalam muqaddimahnya, Syaikh Izzuddin bin Abdissalama mengutarakan tujuan penulisan kitab ini, yakni bahwa tujuan penulisan kitab ini untuk memberikan penjelasan berbagai maslahah dalam melakukan ketaatan, mu’amalah, dan tingkah laku, supaya para hamba berupaya mencapainya, memberikan penjelasan mengenai madharat menentang ajaran Allah, agar mereka bisa menghindarinya, memberikan penjelasan mengenai maslahah berbagai ibadah, agar mereka melakukannya, penjelasan mengenai keutamaan sebagian kemaslahatan atas sebagian yang lain, dan diakhirkannya sebagian mafsadah (kerusakan) atas mafsadah yang lain, serta penjelasan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang ia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.
Syaikh Izzuddin melanjutkan, syari’at agama ini secara keseluruhan mengandung berbagai macam kemaslahatan, baik berupa penolakan terhadap kerusakan maupun pengambilan kemaslahatan. Jika seseorang mendengar firman Allah, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman”, hendaknya memperhatikan pesan yang datang setelah panggilan ini, pasti seseorang tidak akan menemukannya, kecuali kebaikan yang dianjurkan olehnya, atau keburukan yang dilarang melakukannya, atau keduanya sekaligus.
Kelebihan kitab ini terletak pada kecermatan penulisnya dalam mengklasifikasi maslahah dan mafsadah sesuai dengan tingkatannya. Selanjutnya Syaikh Izzuddin memaparkan secara lugas alasan-alasan pengklasifikasian itu berdasarkan nash-nash yang ada. Di sini, tampak sekali kualitas keilmuan Syaikh Izzuddin dalam memahami maqashid asy-syari’ah (tujuan penetapan syari’at) secara mendalam dan komprehensif.
Membaca karya Syaikh Izzuddin ini, sekaligus kita dapat memahami bahwa ia termasuk peletak dasar fiqh al-awlawiyah (fiqih prioritas) di samping Imam Al-Ghazali. Kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam ini mengajarkan bagaimana kita memahami posisi maqashid asy-syari’ah terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kitab ini adalah jawaban bagi mereka yang mencoba membenturkan nash dengan maqashid dan mereka yang mengabaikan kandungan maqashid di dalam nash. Begitu pula, tampak sekali fleksibilitas syari’at Islam berkat orisinalitas pemikiran Syaikh Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Masih banyak karyanya yang belum tercetak, berbentuk manuskrip. Dibutuhkan tangan-tangan terampil untuk mengolahnya menjadi sebuah khazanah pustaka yang dapat diakses banyak kalangan pemerhati kitab dan pelajar ilmu-ilmu keislaman.
Beliau berguru kepada sejumlah guru besar. Ia berguru kepada Syaikh Fahruddin bin Asakir, belajar ushul dari Syaikh Saifuddin al-‘Amidi, belajar hadits dari al-Hafizh Abu Muhammad al-Qasim dan al-Hafizh al-Kabir Abu al-Qasim bin Asakir. Beliau juga menimba ilmu dari Barakat bin Ibrahim al-Kasyu’i, al-Qadhi Abdusshamad bin Muhammad al-Harastani, dan lain-lain.
Kepakarannya dalam ilmu fiqih, hadits, ushul fiqih, balaghah, tafsir, dan lain-lain, mengantarkanya sebagai ulama yang disegani di Damaskus. Beberap ulama’ lain di Damaskus menyebut bahwa Syaikh Izzuddin telah mencapai derajat mujtahid.
Di antara karya-karya terkenalnya adalah :
al Qawa’id al Kubra, al Qawa’id al Shugra, Mukhtashar Shahih Muslim, al Fatawa al Mishriyah, Bidayah al Suul fii Tafdhil al Rasul, Maqashid al Ri’ayah. Tidak banyak yang mengetahui bahwa sebetulnya Syaikh Izzuddin juga pakar di bidang tafsir. Padahal, beliau menulis beberapa kitab tafsir di antaranya al-Kamil fi Tafsir al-Qur’an, al-Naktu wa al-‘Uyun Mukhtashar Tafsir al-Mawardi, Fawa’id fi Musykil al-Qur’an dan al-Isyarah Ila al-Ijaz fi Ba’di Anwa’ al-Majaz.
Di antara karya-karya lainnya adalah :
- Al-Qawaid Al-Kubro
- Al-Qawaid As-Shughra
- Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam
- Al-Imamah fi Adillatil Ahkam
- Al-Fatawa Al-Misriyah
- Al-Fatawa Al-Maushuliyah
- Majaz Al-Qur’an
- Syajarah Al-Ma’arif
- At-Tafsir
- Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah
- Mukhtasar Shahih Muslim
Selama beberapa tahun beliau menjabat sebagai qadhi (hakim) di kota Damaskus. Namun, karena tidak sejalan dengan penguasa di kota itu. Selama menjadi hakim, khatib, dan mufti, beliau dikenal sebagai kepribadiannya yang apa adanya. Jika sesuatu tidak sesuai dengan hukum Islam, maka beliau akan menolaknya mentah-mentah.
Beliau pernah terlibat konflik dengan penguasa. Seorang Gubernur bernama Shalih Ismail pada tahun 608 bekerja sama dengan tentara Salib. Tentara Salib menginginkan membeli senjata. Keputusan ini tidak diterima para ulama’ dan ditentang habis. Para ulama Damaskus dengan dipimpin Syaikh Izzuddin bin Abdussalam berfatwa atas keharaman menjual senjata kepada orang Salib.
Yang juga membuat kecewa kaum Muslimin Damaskus adalah Gubernur ternyata menyerahkan beberapa benteng kaum Muslimin kepada tentara Salib. Padahal, kaum Salibis mempunyai rencana jahat untuk merebut Damaskus.
Syaikh menunjukkan sikap penentangannya terhadap keputusan Gubernur ini. Di khutbah-khutbahnya beliau menyuarakan sikap boikot. Ketika Gubernur tahu sikap penentangan Syaikh Izzuddin, maka Gubernur mecopot jabatannya sebagai khatib di Masjid Umawi dan Qodhi Damaskus. Gubernur memberlakukan tahanan rumah kepadanya. Beliau dilarang keluar rumah, memberi fatwa, dan berkhotbah.
Akhirnya, ia memutuskan untuk hijrah ke Mesir secara diam-diam. Ternyata, gelagatnya diketahui Gubernur. Gubernur Ismail menawarkan perdamaian. Salah seorang utusan Gubernur menemui beliau, lalu mengatakan, “Yang kami harapkan darimu cumalah merendah di hadapan raja dan mencium tangannya.” Syaikh Izzuddin menjawab, “Alangkah kasihannya dia, saya tidak rela dia mencium tanganku apalagi saya mencium tangannya. Wahai kaum, kamu ada di satu jurang dan saya di jurang yang lain, puji bagi Allah yang telah membebaskan kita dari cobaan yang ditimpakan kepada kalian.”
Begitulah keberanian Syaikh Izzuddin kepada penguasa yang dzalim. Beliau akhirnya berhasil sampai di Mesir. Di Mesir ia disambut oleh sultan Najmuddin bin Ayyub. Beliau menyambut dengan penuh kemuliaan dan mengangkatnya sebagai Qadli dan Khatib Mesir. Belum beberapa lama beliau sudah berselisih dengan para pembesar dan penguasa Mesir. Akan tetapi beliau tidak tunduk dan tidak takut komentar jelek dalam hal kebenaran.
Di Mesir, Syaikh Izzuddin mendapat kedudukan agung di mata kaum Muslimin. Ia mengajar ilmu tafsir, menyebarkan ilmu, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Beliau tinggal di Mesir cukup lama, selama 20 tahun. Selama itu pula, beliau tidak berhenti memberantas bid’ah.
Suatu ketika seorang pegawai istana yang bernama Fakhruddin Utsman ingin mendirikan tempat hiburan musik di belakang salah satu masjid di Kairo. Setelah tempat hiburan itu berdiri rupanya penduduk sekitar tidak senang dengan suara genderang apalagi berseberangan dengan masjid. Ketika permasalahan ini sampai ke Syaikh Izzuddin, beliau memberi putusan untuk menghancurkan bangunan tempat hiburan tadi dan menghukum Fakhruddin. Syaikh Izzuddi wafat pada tahun 660 di Kairo Mesir.
Syaikh Izzuddin juga berjiwa besar. Jika terdapat kesalahan dalam dirinya, beliau tidak segan dan malu untuk mengakuinya. Suatu ketika Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berfatwa. Setelah menimbang-nimbang ia merasa ada kesalahan dalam fatwanya itu. Maka ia berkeliling ke seantero Mesir dan mengatakan, “Barangsiapa yang diberikan fatwa oleh Ibnu Abdissalam dalam masalah ini ini maka jangan dilakukan karena fatwa itu salah.”
Karomah Syaikh Izzuddin bin Abdus salam
Ketika datang berita kedatangan tentara Tartar yang mau menyerang penduduk Mesir, Syaikh Izzuddin bertanya pada Raja Mudzoffar, “Kenapa Tuan menunda penyerangan pada tentara Tartar sampai hari raya tiba?”
“Semua itu untuk mempersiapkan senjata,” Jawab raja.
“Jangan begitu! Berangkatlah sekarang juga!”
“Apakah Anda menjamin Allah SWT akan memberikan pertolongan pada kita?”
“Iya, aku tanggung,” jawab Syaikh Izzuddin tegas.
Setelah pasukan diberangkatkan maka pertolongan Allah benar-benar berpihak pada mereka. Dan benarlah apa yang dikatakan Syaikh Izzuddin.
Ketika tentara Salib sedang menyerbu kota Manshuroh, angin mendorong layar perahu mereka, sehingga pasukan kafir tersebut kelihatan besar. Hal ini membuat tentara Islam merasa kecil hati. Melihat apa yang terjadi, Syaikh Izzuddin memberi isyarat pada angin supaya menggoncangkan kapal-kapal musuh, beliau menyuruh angin beberapa-kali, “Wahai angin ambil mereka!”
Maka anginpun balik menerpa kapal-kapal mereka, sehingga banyak yang retak dan pecah. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh tentara Islam berkat do'a beliau.
Suatu ketika beliau terlibat sengketa dengan Raja Mesir. Beliau kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota Kairo bersama istrinya. Ketika beliau mulai meninggalkan kota Kairo, penduduk Kairo mengikutinya. Ketika Raja medengar berita ini, diapun mendatangi Syaikh Izzuddin agar mengurungkan niatnya meningalkan Kairo. Raja meminta maaf atas kesalahannya terhadap Syaikh Izzuddin. Dia takut kerajaannya hilang karena para penduduk mengikuti beliau.
Syaikh Izzzuddin –sebagaimana diceritakan oleh putranya– berkata, “Ketika aku diantara bangun dan terjaga, tapi lebih dekat ke terjaga, aku mendengar suatu suara : “Bagaimana kamu mengaku cinta pada-Ku padahal kamu tidak memakai sifat-Ku? Aku Maha Penyayang dan Pengasih, maka sayangi dan kasihanilah makhluk yang mampu kamu kasihi. Aku adalah zat yang Maha Menutupi aib, maka jadilah kamu insan yang menutupi cacat orang lain. Janganlah kamu memperlihatkan cacat dan dosamu, karena itu membuat murka Allah yang Maha Mengetahui segala hal yang gaib. Aku adalah dzat Yang Maha Pemurah, maka jadilah kamu insan yang pemurah pada setiap orang yang menyakitimu. Aku adalah dzat Maha lembut, maka lembutlah pada setiap makhluk yang Aku perintahkan untuk berbuat lemah-lembut”.”
Akhir Hayat Syaikh Izzuddin
Di akhir hayatnya beliau tidak mengikuti satu madzhab. Alim besar ini berfatwa berdasarkan ijtihadnya sendiri. Ketika beliau mengundurkan diri dari jabatan sebagai Qadhi, sang raja mengharapkan agar beliau berkenan menduduki jabatan itu lagi. Lalu beliau menerimanya dan meminta dengan sangat untuk dibebaskan dari jabatan sebagai qadhi, lalu beliau diangkat sebagai guru di madrasah yang terkenal dengan nama Madrasah Shalihiyyah. Imam Suyuthi mengatakan bahwa karomah Imam Ibnu Abdissalam sangat banyak. Beliau memakai pakaian tasawwuf dari al-Syihab al-Sahrawarai sebagaimana beliau menghadiri majlis Syaikh Abu al-Hasan al -Syadili. Syaikh Abu Hasan mengatakan bahwa tidak ada di muka bumi ini suatu majlis fiqih yang lebih utama dibandingkan majlisnya Syaikh Izzuddin bin Abdissalam. Walaupun beliau sangat keras, beliau menghadiri majlis dzikir ahli tasawwuf dan berjoget bersama mereka. Muridnya al-Qadhi Ibnu Daqiq al-‘Id mengatakan, “Syaikh Izzuddin bin Abdissalam adalah salah satu raja para ulama.”
Beliau wafat di Mesir pada tahun 660 dan dimakamkan di pekuburan al-Qarrafah al-Kubra.
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
No comments:
Post a Comment