Friday, September 8, 2017

TIDAK SEMUA BID’AH SESAT : PEMBAGIAN BID’AH MENURUT MASYAIKH SALAFY – WAHABI


Menurut wahabi bid'ah tidak boleh dibagi. Nabi  bersabda bahwa setiap bid'ah adalah sesat. Nabi yang maksum tidak membagi bid'ah. Namun ulama yang tidak maksum membagi bid'ah. Apakah anda akan memilih pembagian ulama yang tidak maksum dan meninggalkan sabda Nabi yang maksum?

Tentu saja saya akan memilih Nabi yang maksum. Sebagai pengikut Nabi yang haus akan ilmu pengetahuan nabawiyah saya mencoba mencari penjelasan lebih mengenai bid'ah. Dengan bermodalkan maktabah syamilah yang berisi 29.000 judul kitab, saya kira cukup untuk mencari refrensi yang membahas masalah ini.

Dan benar, saya menemukan puluhan bahkan ratusan kitab yang membahas masalah bid'ah. Saya pun membaca kitab-kitab itu. Pertama-tama saya baca kitab Al-Ibda’ Fi Kamalisy Syar’i Wa khothoril Ibda’ yang ditulis oleh Syekh Utsaimin. Saya mulai membaca kitab itu dan pada halaman 13 mendapati kalimat berikut :

قوله (كل بدعة ضلالة) كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل) أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة إلي أقسام ثلاثة او إلي أقسام خمسة؟ أبدا هذا لايصح

Artinya : “Sabda Nabi  (Semua bid'ah sesat) bersifat global, umum, menyeluruh, dan dipagari menggunakan perabot yang paling kuat yaitu “kullu” (seluruh). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah sah.”

Pembagian Bid'ah Versi Utsaimin

Saya pikir benar juga ucapan sang Syekh. Namun saya masih belum puas. Karenanya saya mencoba menjelajahi kitab sang Syekh yang lain dan saya mendapati kitab beliau berjudul Syarhul Aqidah Al-wasitiyah. Saya baca kitab itu dan pada halaman 639, saya mendapati kalimat berikut :

الأصل في أمور الدنيا الحل فما أبتدع منها فهو حلال إلا أن يدل الدليل علي تحريمه لكن أمور الدين الأصل فيها الحظر فما أبتدع منها فهو حرام بدعة إلا بدليل من الكتاب والسنة علي مشروعيته

Artinya : “Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia (Bid’ah dunia-red) adalah halal. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red) adalah dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.”

Saya terkejut sebab di sini sang Syekh membagi bid'ah menjadi dua. Bid'ah dunia dan bid'ah agama. Padahal dalam kitab Al-Ibda’ Fi Kamalisy Syar’i Wa khothril Ibda’ beliau melarang pembagian bid'ah.

Ah barang kali saya yang salah memahami. Maka saya membaca ulang kitab itu. Saya fokus pada dua kalimat berikut :

Pertama :
Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia.

Kedua :
Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama.

Kalimat yang pertama menjelaskan bid'ah dunia sedangkan kalimat yang kedua menjelaskan bid'ah agama. Saya makin terkejut sebab ternyata benar, sang syekh yang sebelumnya melarang pembagian bid'ah, kali ini beliau membagi bid'ah. Ini adalah kontradiksi.

Setelah membagi bid'ah menjadi bid'ah dunia dan bid'ah agama, Syekh Utsaimin juga membagi masing-masing kedua bid'ah itu.

Perhatikan dua kalimat berikut :

Pertama :
Bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya.

Kedua :
Bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.

Mafhumnya :
Bid'ah dunia ada dua; yang halal dan yang haram. Bid'ah dunia yang halal adalah bid'ah yang tidak ada dalil pengharamannya. Sedangkan yang memiliki dalil pengharaman maka hukumnya haram. Bid'ah agama juga ada dua; yang haram dan yang halal. Bid'ah agama yang haram adalah bid'ah yang tidak memiliki dalil. Sedangkan yang memiliki dalil maka hukumnya halal.

Saya bertambah terkejut sebab ternyata benar, sang syekh yang sebelumnya melarang pembagian bid'ah, kali ini beliau membagi bid'ah. Ini adalah kontradiksi.

*** Ah! lupakan saja keterkejutan saya. Barangkali itu lahir dari kebodohan saya dalam memahami ucapan Syekh Utsaimin.

Pembagian Bid'ah Versi Sholih Bin Abdul Aziz


Saya mencari refrensi lain. Mungkin saya akan menemukan fatwa ulama yang mudah dipahami. Saya beralih ke kitab As-Sunah Walbidah karya Syekh Sholih Bin Abdul Aziz Alu Syekh. Alu Syekh merupakan gelar membanggakan di kalangan salafi. Gelar ini hanya diberikan kepada keturunan Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab.

Saya mulai membaca kitab As-Sunah Walbidah. Saat sampai pada halaman 7, saya menemukan penjelasan seperti berikut :


إذن حصلنا من ذلك على أن البدع نوعان: بدع أصلية: وهي التي تكون محدثة من حيث الأصل ومن حيث الوصف. وبدع إضافية: يكون أصلها مشروعا؛ ولكن هيأتها محدثة من مثل الصلاة على النبي عَلَيْهِ الصَّلاَةُ والسَّلاَمُ على المآذن بعد الفراغ من الأذان، ومن مثل الاجتماع على الذكر على نحو معين بصفة معينة ملتزمة. فهذا من حيث هو مشروع في الأصل؛ لأن الصلاة على النبي عَلَيْهِ الصَّلاَةُ والسَّلاَمُ مأمور بها في الكتاب والسنة؛ لكن هذه الهيئة جعلت تلك الهيئة مخترعة، فسُمّيت بدعة إضافية ليست أصلية لأن أصلها مشروع؛ لكنها إضافية يعني أن البدعة جاءت من حيث الهيئة، لا من حيث الأصل، فهذا النوع من التعبد بها بدعة؛ لكن أصلها مشروع.

Artinya : “Dengan begitu maka kita simpulkan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua macam. (Pertama), Bid’ah Asliyah, yaitu hal baru dilihat dari segi asal dan sifat. (Kedua) Bid’ah Idhofiyah yaitu asalnya disyari'atkan, tetapi cara/bentuknya adalah hal baru. Seperti membaca sholawat atas Nabi setelah selesai adzan. Contoh lainnya adalah berkumpul untuk berzikir dengan sifat tertentu. Contoh-contoh ini pada asalnya disyari'atkan. Sebab membaca sholawat atas nabi merupakan perintah al-Qur'an dan hadits. Tetapi cara pelaksanaanya adalah merupakan hasil ciptaan. Maka Bid’ah ini disebut sebagai bid’ah idhofiyah, bukan bid’ah asliyah sebab pada asalnya ia disyari'atkan. Tetapi bid’ah tersebut hanya merupakan idhofiyah, yakni bid’ah dilihat dari segi cara pelaksanaannya bukan dilihat dari segi asalnya. Ini adalah merupakan ibadah yang bid’ah tetapi pada asalnya ia disyari'atkan.”

Perhatikan kalimat yang berwarna merah. Dengan tegas Syekh Sholih Bin Abdul Aziz Alu Syekh membagi bidah menjadi dua; bid'ah ashliyah dan bid'ah idhofiyah. Apakah saya salah dalam memahami ucapan ulama?

*** Saya harap anda tidak menjadi orang dungu dengan mengatakan saya salah dalam memahami ucapan ulama.

Pembagian Bid'ah Versi Ibn Taimiyah

Saya masih haus ilmu pengetahuan dan saya tidak puas menyimpulkan sesuatu hanya dengan merujuk dua fatwa ulama. Oleh karena itu saya mencari kitab lain sebagai refrensi. Dan, saya menemukan kitab Majmu’ Fatwa karya (kata wahabi) Syekhul Islam Ibn Taimiyah. Saya langsung menuju halaman yang membahas soal bidah dan saya menemukannya pada juz 20, halaman 163, dengan redaksi sebagai berikut :


ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا او اعتقادا زعم أن الإيمان لا يتم إلا به مع العلم بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة . قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك وهذه قد تكون حسنة لقول عمر نعمت البدعة هذه . هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي بإسناده الصحيح في المدخل

Artinya : “Dari sini diketahui kesesatan orang yang membuat jalan atau aqidah yang menganggap bahwa iman tidak sempurna kecuali dengan jalan atau aqidah itu, bersamaan dengan itu ia mengetahui bahwa Rasul tidak menyebutkannya, dan sesuatu yang bertentangan dengan nash maka semua itu adalah bid'ah sesuai dengan kesepakatan umat islam. Sedangkan bid'ah yang tidak diketahui bertentangan dengan nash, maka sesungguhnya terkadang ia tidak disebut bid'ah.
Imam Syafi'i berkata : Bid'ah ada dua. (Pertama) Bid'ah yang bertentangan dengan kitab, sunah, ijma, dan atsar dari sebagian sahabat Nabi, maka ini adalah bid'ah yang sesat. (Kedua) bid'ah yang sama sekali tidak bertentangan dengan empat hal tersebut maka bid'ah ini terkadang baik sebab ucapan Umar : “Ini adalah sebaik-baik bidah.” Ucapan ini dan yang semisalnya diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shohih dalam Al-Madkhol.”

Jadi menurut Ibn Taimiyah bid'ah itu ada dua. Pertama, Bid'ah yang bertentangan dengan nash. Bid'ah ini disebut sebagai bid'ah dholalah. Kedua, Bid'ah yang tidah bertentangan dengan nash. Bid'ah ini disebut sebagai bid'ah hasanah.

Kesimpulan :

Bid'ah menurut Wahabi tidak boleh dibagi. Orang yang membagi bid'ah berarti menentang Rasulullah . Karena wahabi sendiri yang membagi bid'ah berarti wahabi juga yang menentang Rasulullah .

Saya teringat sebuah kaidah tentang kebatilan; al-batil mutanaqidh. Artinya kebatilan pasti kontradiksi. Saya bertanya-tanya, apakah kontradiksi yang terjadi pada wahabi ini merupakan bukti bahwa pendapat wahabi itu batil?

Wallohu a’lam.

Source : Ust. Qosim Ibn Aly

۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰


۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰

No comments:

Post a Comment

Berdosakah Kita Bila Tidak Mengamalkan Hadits Shahih?

Pertanyaan : Assalamu ‘alaikum wr. wb. Bila ada hadits yang shahih dan telah disepakati keshahihannya oleh para ulama ahli hadits,...