Setiap malam nishfu Sya’ban, kaum Muslimin di Indonesia meramaikannya dengan beragam tradisi, seperti selamatan bersama, yang disebut dengan istilah ruwahan, menunaikan shalat sunnah baik secara berjamaah maupun sendirian, membaca surat Yasin dan diakhiri dengan doa. Adakah hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah dalam menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan aneka ragam amal shaleh? Mengingat kaum Salafi-Wahabi membid’ahkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan aneka ragam ibadah.
Sunday, April 30, 2017
Dalil-dalil Keutamaan Malam Nisfu Sya’ban
Setiap malam nishfu Sya’ban, kaum Muslimin di Indonesia meramaikannya dengan beragam tradisi, seperti selamatan bersama, yang disebut dengan istilah ruwahan, menunaikan shalat sunnah baik secara berjamaah maupun sendirian, membaca surat Yasin dan diakhiri dengan doa. Adakah hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah dalam menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan aneka ragam amal shaleh? Mengingat kaum Salafi-Wahabi membid’ahkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan aneka ragam ibadah.
Sunday, April 9, 2017
Terkait Maulid, Wahabi VS Ibnu Taimiyah
Masalah Maulid
Maulid yang dimaksud di sini adalah acara yang biasa digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Acara ini umum dilakukan oleh umat muslim di seluruh dunia dengan tata-cara yang berlainan satu sama lain. Dalam ajaran Wahabi maulid haram hukumnya bagaimanapun bentuk dan tujuannya. Salah satu rujukan sekte Wahabi, Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz berfatwa :
لا يجوز الاحتفال بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم ، ولا غيره ؛ لأن ذلك من البدع المحدثة في الدين ؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يفعله ، ولا خلفاؤه الراشدون ، ولا غيرهم من الصحابة ـ رضوان الله على الجميع ـ ولا التابعون لهم بإحسان في القرون المفضلة ، وهم أعلم الناس بالسنة ، وأكمل حباً لرسول الله صلى الله عليه وسلم ومتابعة لشرعه ممن بعدهم .
"Tidak boleh merayakan maulid Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan tidak pula maulid (ulang tahun) selainnya, karena hal itu adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang dimunculkan dalam agama. Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pernah mengerjakannya, tidak pula para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, tidak pula selain mereka dari kalangan para sahabat -ridhwanullahi ‘alaihim-, dan tidak pula orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada zaman-zaman keutamaan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang sunnah, lebih sempurna kecintaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, dan lebih mengikuti syari’at beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka."
[At-Tahdzir minal Bida’, hal. 7-8]
Saturday, April 8, 2017
Mengapa Kita Harus Bermadzhab
Kajian Islam Bersama Habib Novel Alaydrus, Pengasuh Majelis Ilmu dan Dzikir Ar-Raudhah SOLO, Jawa Tengah
Bolehkah Menambahkan Lafadz "Sayyidina" Dalam Tasyahud
Permasalahan ini (lafadz Sayyidina) adalah hal yang sejak dulu diperselisihkan, ulama saat ini juga berselisih/ khilafiah dan sama sekali tidak ada jaminan akan ada kesepakatan di masa depan. Jadi tidak ada akan ada yang menang, semuanya juara dan semua pihak sama-sama mengagungkan Nabi ﷺ dengan amal yang mereka kerjakan dan yakini.
Kembali kita di ingatkan akan ceramah KH. Zainuddin MZ, yang salah seorang mempertanyakan tentang masalah Qunut, apakah shubuh di pakai atau tidak? Kyai menjawab, "Boleh dipakai, boleh tidak."
Jamaah tersebut kembali bertanya, "Lalu yang tidak benar yang mana Kyai?"
Kyai menjawab dengan enteng, "Yang tidak sholat shubuh!"
Thursday, April 6, 2017
Umat Yang Dirahmati dan Dikasihi
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
أُمَّتِيْ أُمَّةٌ مَرْحُوْمَةٌ لَيْسَ عَلَيْهَا عَذَابٌ فِي اْلآخِرَةِ عَذَابُهَا فِي الدُّنْيَا : اَلْفِتَنُ وَ الزَّلاَزِلُ وَ الْقَتْلُ
Hadits di atas juga dicantumkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Tarikhnya: 1/1/38–39, Abu Daud no. 4278, al-Hakim: 4/444, Ahmad: 4/410 dan 418, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir hlm. 3, dari jalur Thariq al-Mas’udi dari A’id bin Abi Burdah dari Ayahnya dari Abu Musa.
Tradisi Menurut Al-Qur'an, As-Sunnah, Sahabat, dan Ulama
Ketika sebuah tradisi dan budaya tidak bertentangan dengan agama, maka Islam akan mengakui dan melestarikannya. Tetapi, ketika suatu tradisi dan budaya bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka Islam akan memberikan beberapa solusi, seperti menghapus budaya tersebut, atau melakukan islamisasi dan atau meminimalisir kadar mafsadah dan madharat budaya tersebut. Namun ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang telah berjalan tidak dilarang dalam agama, maka dengan sendirinya menjadi bagian yang integral dari syari’ah Islam. Demikian ini sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits, dan atsar kaum salaf yang dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif).
Tasawuf dan Wali menurut Hadhratus Syeikh Hasyim Asy'ari
KH. Hasyim Asy’ari |
“Barangsiapa yang mengaku dirinya wali tanpa kesaksian bahwa dia mengikuti syari'at Nabi Muhammad ﷺ, maka pengakuan tersebut dusta bohong.”
[Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 4]
[Hasyim Asy’ari, Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 4]
Syeikh Hasyim berpendapat, wali tidak akan memamerkan dirinya sebagai wali. Justru seorang sufi tidak menyukai popularitas. Beliau mengatakan, “Jenis fitnah itu banyak sekali. Di antara yang banyak merusak seorang hamba adalah pengakuan seseorang menjadi guru tarekat dan wali. Bahkan sampai mengaku dirinya wali quthb, dan imam mahdi. Padahal mereka bukan ahli syari'at.”
[Al-Dhurar al-Muntatsirah fi al-Masa’il al-Tis’a ‘Asyarah, hal. 1]
Tuesday, April 4, 2017
“Mengkafirkan Abu Thalib, Menyakiti Hati Nabi ﷺ” : Biografi Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1816 – 1886)
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan |
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan bukanlah nama asing di kalangan para pengkaji Islam, terutama para kyai dan santri di Pesantren-pesantren di Indonesia. Sebab banyak para ulama Nusantara yang menimba ilmu darinya di kota Mekah atau Madinah. Ulama dan mufti kota Mekah ini, merupakan seorang ulama Ahlussunnah wal jamaah kaliber dunia yang karya-karyanya banyak menjadi rujukan.
Kemasyhurannya ini dapat diketahui dari gelar-gelar dan ungkapan yang disebutkan ulama mengenai dirinya seperti al-Imam al-Ajal (Imam pada waktunya), Bahrul Akmal (Lautan Kesempurnaan), Faridu ‘Ashrihi wa Aawaanihi(Ketunggalan masa dan waktunya), Syeikhul-Ilm wa Haamilu liwaaihi (Syeikh Ilmu dan Pembawa benderanya) Hafidzu Haditsin Nabi wa Kawakibu Samaihi (Penghafal Hadits Nabi dan Bintang-bintang langitnya), Ka’batul Muriidin wa Murabbis Saalikiin (Tumpuan para murid dan Pendidik para salik).
Monday, April 3, 2017
Hukum Khusyu’ Dalam Shalat
Jumhur ulama berpendapat bahwa khusyu’, hanyalah sunnah, tidak wajib dalam shalat. Pendapat lain mengatakan wajib dan syarat sah shalat. Pendapat kedua ini dianggap syaz (ganjil) oleh ulama, bahkan Imam al-Nawawi menegaskan dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhazzab bahwa telah terjadi ijmak tidak wajib (hanya bersifat anjuran saja) khusyu’ dalam shalat, yakni :
فَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْخُشُوعِ وَالْخُضُوعِ فِي الصَّلَاةِ
“Telah terjadi ijmak ulama atas anjuran khusyu’ dan khuzhu’ (tunduk hati) dalam shalat.”[1]
Kesetiaan Kaum Sufi Terhadap Syari'ah
Kesalah fahaman terhadap ilmu tasawwuf yang melahirkan tuduhan sesat biasanya bersumber dari ketidak fahaman tentang hakikat tasawwuf yang terkait dengan syari'ah. Anggapan keliru yang beredar, kaum sufi tidak terlalu taat pada syari'ah, bahkan ada yang menafikan syari'ah.
Padahal, mempraktikkan syari'ah pada taraf sempurna itulah akan ditemukan intisari tasawwuf. Syari'ah yang dijalankan dengan sempurna itu tidak sekedar hukum dzahir, tapi juga mementingkan fiqih batin.
Saturday, April 1, 2017
Syariat, Tarekat (Thariqah), Dan Hakikat (Haqiqah)
Sayyid ‘Abdullah bin Abu Bakar Al-‘Aidarus[1] ra berkata :
Menurut para sufi, syariat adalah ibarat sebuah kapal, tarekat adalah lautnya, dan hakikat adalah permata yang berada di dalamnya. Barang siapa menginginkan permata, maka dia harus naik kapal kemudian menyelam lautan hingga memperoleh permata tersebut.
Kewajiban pertama penuntut ilmu adalah mempelajari syariat. Yang dimaksud dengan syariat adalah semua perintah Allah dan Rasul-Nya ﷺ, seperti wudhu, shalat, puasa, zakat, haji, mencari yang halal, meninggalkan yang haram, dan berbagai perintah serta larangan lainnya. Seyogyanya seorang hamba menghiasi lahirnya dengan pakaian syariat hingga cahaya syariat tersebut bersinar dalam hatinya dan kegelapan insaniyyah sirna dari hatinya. Akhirnya dia dapat menempuh tarekat dan cahaya tersebut dapat selalu bersemayam dalam hatinya.
Tarekat adalah pelaksanaan takwa dan segala sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Allah, seperti usaha untuk melewati berbagai manazil dan maqam. Setiap maqam[2] memiliki tarekat tersendiri. Setiap guru sufi memiliki tarekat yang berbeda. Setiap guru akan menetapkan tarekatnya sesuai maqam dan hal[3]-nya masing-masing. Di antara mereka ada yang tarekatnya duduk mendidik masyarakat. Ada yang tarekatnya banyak membaca wirid dan mengerjakan shalat sunah, puasa sunah, dan berbagai ibadah lainnya. Ada yang tarekatnya melayani masyarakat, seperti memikul kayu bakar atau rumput serta menjualnya ke pasar dan kemudian hasilnya ia dermakan. Setiap guru memilih tarekatnya sendiri.
Adapun hakikat adalah sampainya seseorang ke tujuan dan penyaksian cahaya tajalli, sebagaimana ucapan Rasulullah ﷺ kepada Haritsah, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apakah hakikat keimananmu?”
Haritsah menjawab, “Aku palingkan diriku dari dunia sehingga sama saja bagiku batu, lumpur, mas dan perak. Aku juga membuat diriku lapar di siang hari (berpuasa) dan bergadang di malam hari (shalat malam).”
Keteguhan Haritsah memegang agama Allah, pelaksanaannya terhadap syariat Allah, kehati-hatiannya dan semangatnya untuk bergadang, kehausannya, keberpalingan dirinya dari segala keinginan nafsu adalah tarekat. Sedangkan tersingkapnya berbagai keadaan akhirat kepada Haritsah dan cintanya kepada Allah adalah hakikat.[4]
[1] Sayyid ‘Abdullah bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs bin ‘Abdurrahman Assaqqaf ra lahir di kota Tarim Hadhramaut pada tahun 811 H.
[2] Maqam : kedudukan, derajat, atau tingkat kehidupan rohani. Maqam ini dicapai dengan latihan (riyadhah) dan perjuangan (mujahadah).
[3] Hal : perubahan keadaan hati yang datang dari Allah. Keadaan luar biasa yang meliputi seseorang.
[4] Sayyid ‘Abdullah bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs, Al-Kibritul Ahmar wal Iksirul Akbar, cet. ke-1, Musthafa Al-BabiAl-Halabi, Mesir, 1933/1352, hal. 72.
Menurut para sufi, syariat adalah ibarat sebuah kapal, tarekat adalah lautnya, dan hakikat adalah permata yang berada di dalamnya. Barang siapa menginginkan permata, maka dia harus naik kapal kemudian menyelam lautan hingga memperoleh permata tersebut.
Kewajiban pertama penuntut ilmu adalah mempelajari syariat. Yang dimaksud dengan syariat adalah semua perintah Allah dan Rasul-Nya ﷺ, seperti wudhu, shalat, puasa, zakat, haji, mencari yang halal, meninggalkan yang haram, dan berbagai perintah serta larangan lainnya. Seyogyanya seorang hamba menghiasi lahirnya dengan pakaian syariat hingga cahaya syariat tersebut bersinar dalam hatinya dan kegelapan insaniyyah sirna dari hatinya. Akhirnya dia dapat menempuh tarekat dan cahaya tersebut dapat selalu bersemayam dalam hatinya.
Tarekat adalah pelaksanaan takwa dan segala sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Allah, seperti usaha untuk melewati berbagai manazil dan maqam. Setiap maqam[2] memiliki tarekat tersendiri. Setiap guru sufi memiliki tarekat yang berbeda. Setiap guru akan menetapkan tarekatnya sesuai maqam dan hal[3]-nya masing-masing. Di antara mereka ada yang tarekatnya duduk mendidik masyarakat. Ada yang tarekatnya banyak membaca wirid dan mengerjakan shalat sunah, puasa sunah, dan berbagai ibadah lainnya. Ada yang tarekatnya melayani masyarakat, seperti memikul kayu bakar atau rumput serta menjualnya ke pasar dan kemudian hasilnya ia dermakan. Setiap guru memilih tarekatnya sendiri.
Adapun hakikat adalah sampainya seseorang ke tujuan dan penyaksian cahaya tajalli, sebagaimana ucapan Rasulullah ﷺ kepada Haritsah, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apakah hakikat keimananmu?”
Haritsah menjawab, “Aku palingkan diriku dari dunia sehingga sama saja bagiku batu, lumpur, mas dan perak. Aku juga membuat diriku lapar di siang hari (berpuasa) dan bergadang di malam hari (shalat malam).”
Keteguhan Haritsah memegang agama Allah, pelaksanaannya terhadap syariat Allah, kehati-hatiannya dan semangatnya untuk bergadang, kehausannya, keberpalingan dirinya dari segala keinginan nafsu adalah tarekat. Sedangkan tersingkapnya berbagai keadaan akhirat kepada Haritsah dan cintanya kepada Allah adalah hakikat.[4]
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
[1] Sayyid ‘Abdullah bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs bin ‘Abdurrahman Assaqqaf ra lahir di kota Tarim Hadhramaut pada tahun 811 H.
[2] Maqam : kedudukan, derajat, atau tingkat kehidupan rohani. Maqam ini dicapai dengan latihan (riyadhah) dan perjuangan (mujahadah).
[3] Hal : perubahan keadaan hati yang datang dari Allah. Keadaan luar biasa yang meliputi seseorang.
[4] Sayyid ‘Abdullah bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs, Al-Kibritul Ahmar wal Iksirul Akbar, cet. ke-1, Musthafa Al-BabiAl-Halabi, Mesir, 1933/1352, hal. 72.
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰
Subscribe to:
Posts (Atom)
Berdosakah Kita Bila Tidak Mengamalkan Hadits Shahih?
Pertanyaan : Assalamu ‘alaikum wr. wb. Bila ada hadits yang shahih dan telah disepakati keshahihannya oleh para ulama ahli hadits,...
-
Pada dasarnya, Islam itu agama. Islam bukan budaya dan bukan tradisi. Akan tetapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti budaya dan tidak...
-
Berikut ini adalah tulisan yang kami rangkum dari kitab Syarah Risalah Masail al-Ikhtilaf baina al-Asy’arah wal- Maturidiyah karangan Ib...
-
Beliau juga digelari sebagai Ba‘i’ al-Muluk (Penjual Raja-raja), gelar ulama yang sangat unik. Lantaran sikap tegasnya atas godaan dan a...