Thursday, August 3, 2017

Syaikh Izzuddin bin Abdissalam : Sang Sultan para Ulama


Beliau juga digelari sebagai Ba‘i’ al-Muluk (Penjual Raja-raja), gelar ulama yang sangat unik. Lantaran sikap tegasnya atas godaan dan ancaman para penguasa yang ingin memanfaatkan kedudukan keilmuannya di masyarakat.

Di antara ulama-ulama pembawa panji madzhab Imam Asy-Syafi’i yang paling terkemuka di abad ke-6 H/10 M adalah Imam Izzuddin bin Ab­dissalam As-Sulami. Ia ulama yang sa­ngat aktif menyebarkan dan membela paham Ahlussunnah Asy’ari dan Syafi’i. Ia juga sering berhadapan dan berdialog dengan paham-paham yang dianggap me­nyimpang saat itu, seperti kelompok Hasywiyyah, Musyabbihah, Mujas­simah, dan Mu’tazilah.

Nama dan gelar beliau adalah Syaikh Al-Imam Izzuddin Abu Muhammad Ab­dul Aziz bin Abdissalam bin Abi Al-Qasim bin Hasan bin Muhammad bin Muhadz­dzab As-Sulami Al-Maghribi Ad-Dimasy­qi Al-Mishri Al-Asy’ari Asy-Syafi’i, lahir di Damaskus tahun 577 H/1181 M dan wafat pada tahun 660 H/1262 M.

Jenazah Tidak Wajib dimandikan Jika Bisa Mandi Sendiri


Mengapa mayit harus dimandikan? Karena pada dasarnya mayit tidak bisa mandi sendiri. Jawaban ini bukanlah jawaban kelakar. Tetapi jawaban dari kacamata fiqih. Karena sebenarnya memandikan mayit merupakan tuntutan bagi mereka yang masih hidup dengan alasan ketidakmampuan mayit memandikan dirinya sendiri. Demikian diterangkan dalam Tuhaftul Habib, Juz 2.

ولايرد على الاكتفاء بتغسيل الميت نفسه كرامة ان المخاطب غيره بذلك لأنانقول إنماخوطب غيره لعجزه أى الميت فاذا اتى به خرقا للعادة اكتفى به اذ المدار على وجوده من جنس المكلف

Oleh karena itu jika seorang mayit mampu memandikan dirinya sendiri, maka gugurlah kewajiban sanak family yang masih hidup. Dan hal itu dianggap shahih. Seperti yang pernah terjadi pada karomah waliyullah Abdullah al-Manufi dan Al-Quthbus Syahir Sayyidil Ahmadil Badawi, qaddasallahu siraahuma.Kejadian ini merupakan bukti kelebihan yang dimiliki oleh para auliyaullah yang terkenal dengan nama karomah.

Demikianlah termaktub dalam Kasyifatus Saja :

ولو غسل نفسه كرامة كفى كما وقع لسيد أحمد البدوى أمدنا الله بمدده

Dan jikalau (mayit) memandikan dirinya sendiri maka dianggap cukup. Sebagaimana pernah terjadi pada karomah Sayyid Ahmad Al-Badawi amaddanallahu bimadadihi.

Akan tetapi bagi mayit yang tidak mampu mandi sendiri, maka bagi sanak keluarga yang ditinggalkan harus memandikannya, sebagaimana mengafani, meshalati, dan mengkuburkannya. Hanya saja perlu difahami terlebih dahulu bahwasannya alasan memandikan mayit tidaklah sama dengan alasan mencuci piring atau pakaian yang bertujuan menghilangkan najis dan menyucikannya. Karena sesungguhnya mayit tidaklah mengandung hadats, dan mayit bukan pula barang najis.

Namun, alasan memandikan mayit lebih pada penghormatan. Sebagaimana termaktub dalam kitab Iqna' bahwa alasan bersuci itu ada tiga, yaitu untuk menghilangkan najis, menghilangkan hadats, atau pun untuk penghormatan :

وجه الدلالة أن الطهارة اما لحدث اوخبث اوتكرمة ولاحدث على الإناء ولاتكرمة فتعينت طهارة الخبث

Demikianlah keterangan tentang alasan memandikan mayit, yang tentunya harus difahami bagi semua muslim baik yang nantinya akan dimandikan maupun yang hendak mandi sendiri.
Wallau a'lam.

(red. Ulil H/NU Online)

۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰


۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰ ۰۞۰

Tuesday, August 1, 2017

Syarat & Kehati-Hatian Ulama Terdahulu Dalam Berfatwa


At Thahawi Perlu Izin Qadhi Maliki Sebelum Berfatwa

Qadhi Abu Utsman Al-Baghdadi meskipun termasuk ulama besar dan hakim madzhab Al-Maliki, namun beliau sering mengunjungi Imam At-Thahawi yang bermadzhab Hanafi untuk menyimak karya-karya beliau.

Suatu saat ketika kedua ulama besar itu bertemu ada seorang datang untuk meminta fatwa. Imam At-Thahawi pun menyampaikan kepada orang itu, ”Madzhab Qadhi demikian…”

Si penanya pun mengatakan kepada Imam At Thahawi, ”Saya bukan datang untuk Qadhi, sesungguhnya saya datang kepada Anda.”

Qadhi Abu Utsman pun turut berbicara kepada Imam At-Thahawi, ”Berilah fatwa dengan pendapatmu.”

Imam At-Thahawi pun menjawab, ”Sebagaimana telah dizinkan oleh Qadhi, maka silahkan Anda (Qadhi) memberi fatwa kemudian baru saya.”

Dari kisah ini Al Hafidz As-Sakhawi menyampaikan bahwa demikianlah adab Imam At-Thahawi dan kelebihan beliau, sebagaimana Qadhi Abu Utsman yang mengunjungi beliau juga memiliki adab dan keutamaan.

Kisah ini dinukil Syeikh Muhammad Az-Zahid Al-Kautsari, ulama Kekhalifahan Al-Utmani dari At-Tibr Al-Masbuq karya Al-Hafidz As-Sakhawi (Al Maqalat Al Kautsari, hal. 348)

Perbedaan madzhab Asy’ari dan al-Maturidy


Berikut ini adalah tulisan yang kami rangkum dari kitab Syarah Risalah Masail al-Ikhtilaf baina al-Asy’arah wal- Maturidiyah karangan Ibnu al-Kamal Pasya (873-940 H) dengan syarahnya oleh Said Fudah (Penerbit : Dar al-Fatah). Dalam muqaddimah syarah kitab tersebut dijelaskan, bahwa Ibnu al-Kamal Pasya seorang ulama terkenal pada zaman Daulah Usmaniyah Turki. Beliau hidup semasa dengan Imam al-Suyuthi.

Adapun perbedaan mazhab Asy’ari dan al-Maturidy berdasarkan tulisan di atas antara lain :

Berdosakah Kita Bila Tidak Mengamalkan Hadits Shahih?

Pertanyaan : Assalamu ‘alaikum wr. wb. Bila ada hadits yang shahih dan telah disepakati keshahihannya oleh para ulama ahli hadits,...